info.speaksacademy.com

Negara-Negara Besar Berlomba Membangun AI , Ada Apa?

Mengapa Negara-Negara Besar Berlomba Membangun AI ?

Negara yang paling cepat dan canggih dalam implementasi AI akan memanen keuntungan ekonomi eksponensial, dan menciptakan ketergantungan negara lain. Belum lagi militer dan Inteligen.

Perlombaan membangun AI oleh negara-negara besar menyentuh banyak aspek strategis global—ekonomi, militer, sosial, dan ideologis. Negara-negara besar seperti Amerika Serikat, China, Prancis, Jepang, dan India berlomba-lomba mengembangkan infrastruktur AI karena AI kini bukan lagi sekadar teknologi, tetapi:


Aset Geopolitik Strategis

AI dipandang sebagai penentu kekuatan masa depan, seperti minyak dan senjata nuklir pada abad ke-20. Siapa yang menguasai AI, akan:

  • Mengendalikan ekonomi digital
  • Memimpin inovasi militer
  • Mengarahkan arus informasi global
  • Mengendalikan standar etika dan regulasi internasional

Mengapa Mereka Berlomba?

1. AI = Mesin Penggerak Ekonomi Baru

AI dapat meningkatkan produktivitas secara besar-besaran di:

  • Manufaktur (otomatisasi)
  • Kesehatan (diagnosis berbasis data)
  • Transportasi (mobil otonom)
  • Energi (efisiensi konsumsi)
  • Keuangan (algoritma trading dan fraud detection)

Negara yang paling cepat dan canggih dalam implementasi AI akan memanen keuntungan ekonomi eksponensial, dan menciptakan ketergantungan negara lain.


2. AI = Keunggulan Militer & Intelijen

  • Amerika mengintegrasikan AI dalam sistem tempur, pengintaian, dan analisis prediktif

  • China membangun pengawasan massal berbasis AI (seperti sistem social credit)

  • AI memampukan negara untuk membuat keputusan militer real-time, mengenali pola ancaman lebih awal, dan mengotomasi respon defensif


3. AI = Kekuatan Pengaruh Budaya & Ideologi

  • GPT, Claude, dan LLM lainnya menyebarkan cara berpikir, nilai, dan sudut pandang.

  • Negara seperti Prancis dan India ingin AI yang merefleksikan budaya dan bahasa mereka sendiri, bukan didominasi narasi Silicon Valley.


4. Ketergantungan pada Infrastruktur Asing = Ancaman

  • China membuat chip sendiri karena sanksi AS membatasi ekspor chip canggih (seperti NVIDIA H100)

  • India bangun cloud AI nasional karena sadar ketergantungan pada Amazon atau Microsoft membuat mereka rentan

Negara-negara besar berlomba membangun:

  • Chipset AI lokal
  • Cloud AI nasional
  • Model bahasa besar (LLM) lokal
  • GPU farms untuk pelatihan mandiri

5. AI = Arah Baru Kolonialisme Digital

Bayangkan jika semua AI canggih berasal dari AS: maka setiap orang yang bertanya pada AI akan menerima worldview Amerika. Ini menciptakan bentuk kolonialisasi naratif dan dominasi pengetahuan. Negara lain tidak ingin menjadi hanya konsumen AI, tapi juga pemain dan produsen.


Trend Masa Depan

  1. AI Nasional: Setiap negara akan punya versi GPT mereka sendiri.

  2. Regulasi Ketat: Undang-undang AI, proteksi data, dan transparansi akan meningkat.

  3. Decentralized AI: Muncul AI berbasis blockchain dan komunitas sebagai alternatif model raksasa.

  4. AI + Quantum: Lompatan daya komputasi AI melalui komputer kuantum.

  5. Konflik & Perlombaan Senjata AI: Persaingan semakin tajam, mirip era nuklir, tapi di ranah digital.

China

  • Strategi: Membangun ekosistem AI mandiri, tidak menggunakan API dari OpenAI atau perusahaan AS alinnya.

  • NVIDIA: Dibatasi karena pembatasan ekspor chip AI oleh AS (seperti H100), namun China tetap membuat chip alternatif (Huawei Ascend, Alibaba Hanguang).

  • Model AI: Mengembangkan model sendiri seperti Baidu Ernie Bot, Alibaba Tongyi Qianwen, dan iFlytek SparkDesk.

Jepang

  • Strategi: Kolaborasi erat dengan OpenAI, tapi juga membangun model lokal AI lokal.

  • NVIDIA: SoftBank bekerja sama erat dengan NVIDIA, membangun pusat data AI (dengan OpenAI) dan juga proyek Cristal Intelligence.

  • Model AI: Jepang ingin melatih model bahasa Jepang secara mandiri, tapi tidak menutup diri terhadap API GPT.

Uni Emirat Arab (UEA)

  • Strategi: Kolaborasi agresif dengan OpenAI dan NVIDIA untuk menjadi pemimpin AI di Timur Tengah.

  • NVIDIA: Memasok GPU untuk Stargate UAE dan proyek bersama G42.

  • Model AI: Sudah meluncurkan Falcon LLM (dari TII/Abu Dhabi), sebagai upaya AI lokal berbasis open-source. Mereka juga berkolaborasi, bukan bersaing, dengan GPT.

India

  • Strategi: Fokus pada pengembangan AI terbuka dan terjangkau untuk rakyat, dengan proyek nasional bernama AI for All.

  • NVIDIA: Bermitra dengan Reliance dan Tata untuk membangun pusat data dengan GPU NVIDIA.

  • Model AI: Belum punya model besar mandiri, tetapi pemerintah sedang mendorong pengembangan model bahasa lokal (Hindi, Tamil, dll).

Prancis / Uni Eropa

  • Strategi: Fokus pada AI etis dan otonomi digital, menghindari ketergantungan ke AS atau China.

  • NVIDIA: Digunakan oleh pusat riset seperti Mistral AI dan Hugging Face.

  • Model AI: Prancis punya Mistral-7B dan Mixtral, bersifat open-source, tidak tergantung pada GPT.

Amerika Serikat

  • Strategi: Dominasi penuh dalam AI melalui perusahaan seperti OpenAI, Anthropic, Meta, Google DeepMind, dll.

  • NVIDIA: Pemain utama — pusat data dan superkomputer terbesar di dunia untuk AI berada di AS.

  • Model AI: Tersentralisasi di perusahaan, bukan pemerintah.


Pola Umum: Bangun Mandiri + Kolaborasi NVIDIA

Negara Gunakan API GPT Kembangkan Model Sendiri Pakai GPU NVIDIA
China ⚠️ Terbatas
Jepang ✅ (SB OpenAI)
UEA ✅ (OpenAI) ✅ (Falcon)
India 🟡 (dalam proses)
Uni Eropa ✅ (Mistral, Aleph Alpha)
Amerika Serikat ✅ (native)

RENUNGAN: KABUR AJA DULU – MASALAH ATAU PELUANG

Kabur aja dulu menjadi sorotan publik belakangan ini. Awalnya hanya candaan kini menjadi isu nasional dan dipandang tidak nasionalis. Apa sebenarnya yang sedang terjadi. Fenomena ini muncul sebagai respons atas ketidakpastian ekonomi, tekanan sosial, serta minimnya peluang bagi generasi muda di dalam negeri. Beberapa pejabat pemerintah bahkan mengeluarkan pernyataan yang kontroversial, memperkuat persepsi bahwa pemerintah kurang responsif terhadap keresahan masyarakat.

Menteri A, misalnya, menyebut bahwa generasi muda harus lebih tahan banting dan tidak mudah menyerah. Sementara itu, Menteri B menilai bahwa mereka yang ingin pergi ke luar negeri bukanlah patriot sejati. Pernyataan-pernyataan ini justru memperparah kekhawatiran bahwa Indonesia mengalami brain drain, di mana talenta terbaik lebih memilih untuk berkembang di negara lain ketimbang membangun bangsa sendiri.

Namun, apakah fenomena “kabur aja dulu” benar-benar sebuah ancaman? Mari kita perhatikan lebih mendalam.

Masalah Dalam Negeri

Kita perlu mengakui bahwa fenomena “kabur aja dulu” bukan muncul begitu saja. Ada berbagai faktor dalam negeri yang mendorong generasi muda memilih untuk mencari peluang di luar negeri. Bukan sekadar keinginan untuk merantau atau mencari pengalaman baru, tetapi banyak yang merasa bahwa bertahan di Indonesia justru mempersempit kesempatan mereka untuk berkembang.

Salah satu penyebab utamanya adalah terbatasnya peluang kerja. Setiap tahunnya, ribuan lulusan baru memasuki dunia kerja, tetapi lapangan pekerjaan yang tersedia masih jauh dari cukup. Persaingan ketat membuat banyak anak muda harus menerima pekerjaan dengan gaji yang tidak sebanding dengan biaya hidup mereka. Tidak heran jika mereka tergoda dengan tawaran kerja di luar negeri yang tidak hanya menjanjikan gaji lebih besar, tetapi juga kesejahteraan yang lebih baik.

Bagi mereka yang ingin membangun usaha sendiri, tantangannya pun tidak kalah berat. Iklim usaha di dalam negeri masih jauh dari ideal. Banyak calon pengusaha muda yang penuh semangat dan ide kreatif, tetapi justru terhambat oleh regulasi yang berbelit-belit dan sulitnya mendapatkan modal. Bukannya mendapatkan dukungan, mereka justru harus menghadapi berbagai kendala birokrasi yang menguras energi dan waktu. Tidak sedikit di antara mereka yang akhirnya memilih untuk mengembangkan bisnis di negara lain yang lebih ramah terhadap inovasi dan startup.

Di sisi lain, ketidakpastian politik dan sosial juga menjadi faktor yang membuat banyak orang berpikir ulang untuk menetap di Indonesia. Kebijakan yang sering berubah-ubah tanpa kepastian jangka panjang membuat masyarakat, terutama generasi muda, merasa tidak memiliki pegangan yang kuat untuk merencanakan masa depan. Ditambah lagi dengan transparansi yang minim dan birokrasi yang lambat, kepercayaan mereka terhadap pemerintah pun semakin terkikis. Banyak yang merasa bahwa jika ingin memiliki masa depan yang lebih baik, mencari peluang di luar negeri adalah pilihan yang lebih realistis.

Alih-alih menyalahkan mereka yang memilih pergi, kita seharusnya melihat kenyataan ini sebagai sinyal penting bahwa ada banyak hal yang perlu dibenahi. Jika lingkungan di dalam negeri lebih mendukung, tentu tidak banyak yang merasa perlu “kabur” untuk mengejar impian mereka.

Peluang Strategis Pemanfaatan Diaspora

Apakah fenomena “kabur aja dulu” benar-benar sebuah ancaman bagi Indonesia? Jika kita melihat pengalaman negara lain, justru sebaliknya. Banyak bangsa yang berhasil memanfaatkan diaspora mereka sebagai kekuatan strategis untuk memperluas pengaruh di kancah global. India, China, dan Inggris adalah contoh nyata bagaimana warganya yang tersebar di berbagai negara justru menjadi aset berharga bagi negara asal.

Ketiga negara ini memiliki pendekatan yang berbeda dalam memanfaatkan diaspora mereka, tetapi semuanya berhasil memperkuat posisi negara asal di kancah internasional:

  1. India: Pengaruh Politik dan Teknologi. Secara aktif India membangun jaringan diaspora di berbagai sektor strategis. Di Amerika Serikat, komunitas India menduduki banyak posisi penting, termasuk CEO perusahaan teknologi raksasa seperti Sundar Pichai Sunda Rarajan di  Google (Wikimedia., 2024), Satya Nadella di Microsoft (Wikipedia, 2025). Di bidang politik, diaspora India juga memiliki pengaruh besar, Rishi Sunak Perdana Menteri Inggris 2022-2024 (Wikimedia., 2024).
  2. China: Investasi dan Koneksi Ekonomi. China sukses menghubungkan diaspora mereka dengan ekonomi domestik. Banyak pengusaha China yang sukses di luar negeri kemudian berinvestasi di negara asalnya, mendirikan pabrik, perusahaan teknologi, dan menghubungkan pasar global dengan industri dalam negeri. Kebijakan “Thousand Talents Plan” juga dibuat untuk menarik kembali talenta diaspora agar berkontribusi dalam riset dan inovasi teknologi.

    Eric Yuan
    pendiri dan CEO Zoom Video Communication di Amerika Serikat adalah pria kelahiran dan berkebangsaan asli China (Wikimedia., 2024). Jerry Yang salah satu pendiri Yahoo, Perusahaan IT yang bermarkas di Amerika Serikat adalah pria kelahiran Taiwan berkebangsaan China (Wikimedia, 2024). Dalam bidang Investasi, China sangat kuat di asia tenggara, sangat banyak mega proyek – mega proyek di Indonesia, Singapore, dan Malaysia yang memanfaatkan diaspora China untuk menjadi mitra bisnis Investasi besar China di negara tersebut.

3. Inggris: Soft Power dan Jaringan Global. Inggris memanfaatkan diaspora mereka untuk memperkuat soft power di dunia. Banyak mantan jajahan Inggris tetap memiliki hubungan erat dengan negara tersebut, baik dalam bidang ekonomi, pendidikan, maupun budaya. Universitas-universitas seperti Oxford dan Cambridge menjadi magnet bagi talenta global, yang kemudian tetap terkoneksi dengan Inggris dalam bisnis dan diplomasi. Selain itu, jaringan Commonwealth juga mempermudah kerja sama dengan berbagai negara di dunia.

Langkah Strategis untuk Pemerintah

Agar fenomena kabur aja dulu tidak hanya dipandang sebagai kehilangan, tetapi justru menjadi peluang strategis bagi Indonesia, pemerintah perlu mengambil langkah konkret. 

Jangka Pendek

Salah satu cara yang bisa dilakukan adalah dengan menjalin komunikasi yang lebih erat dengan diaspora Indonesia. Banyak komunitas dan organisasi internasional yang menaungi warga negara Indonesia di luar negeri, dan ini bisa menjadi jembatan bagi pemerintah untuk tetap terhubung dengan mereka. Bukan hanya sebagai bentuk perhatian, tetapi juga sebagai upaya membangun ekosistem yang memungkinkan mereka tetap berkontribusi untuk tanah air, meskipun dari kejauhan.

Selain itu, pemerintah bisa memberikan berbagai insentif agar para talenta Indonesia yang sukses di luar negeri merasa terdorong untuk berbagi ilmu, pengalaman, atau bahkan berinvestasi di dalam negeri. Misalnya, dengan memberikan kemudahan dalam investasi, membangun skema riset bersama, atau menciptakan program mentoring bagi anak muda di Indonesia.

Tak kalah penting, kolaborasi antara perguruan tinggi dan perusahaan global juga harus diperkuat. Jika kampus-kampus Indonesia memiliki koneksi yang baik dengan dunia industri internasional, mahasiswa tidak hanya mendapatkan akses ke peluang kerja global, tetapi juga membawa kembali wawasan dan keterampilan baru yang bisa bermanfaat bagi perkembangan industri di dalam negeri.

Jangka Panjang

Dalam jangka panjang, Indonesia perlu menciptakan lingkungan yang begitu kondusif sehingga generasi mudanya tidak lagi merasa harus “kabur” ke luar negeri demi berkembang. Ini berarti membangun ekosistem inovasi dan kewirausahaan yang benar-benar mendukung. Jika Indonesia bisa menawarkan kesempatan yang sama menariknya dengan negara lain—baik dari segi fasilitas, dukungan, maupun akses terhadap pendanaan—maka talenta terbaik akan berpikir dua kali sebelum memilih pergi.

Namun, bukan berarti mereka yang sudah merantau harus dianggap “hilang.” Justru, Indonesia bisa meniru strategi India dengan menciptakan program Indonesian Talent Export. Konsepnya sederhana: talenta yang bekerja dan sukses di luar negeri tetap dipandang sebagai bagian dari kekuatan bangsa. Mereka bisa menjadi duta ekonomi, membuka jalan bagi investasi, dan membawa pulang ilmu serta pengalaman yang berharga.

Lebih dari itu, pemerintah juga perlu menginisiasi sebuah jaringan global yang memperkuat hubungan diaspora dengan tanah air. Global Indonesian Network bisa menjadi wadah bagi para profesional Indonesia di luar negeri untuk tetap terkoneksi dengan berbagai kepentingan nasional—baik di bidang politik, ekonomi, maupun budaya. Dengan begitu, Indonesia tidak hanya mengekspor tenaga kerja, tetapi juga membangun kekuatan global melalui orang-orangnya yang tersebar di berbagai belahan dunia.

Renungan

Sayangnya, di Indonesia, keberangkatan anak muda ke luar negeri masih sering dipandang sebagai bentuk ketidaksetiaan atau kurangnya rasa nasionalisme. Padahal, jika dikelola dengan baik, diaspora bisa menjadi jembatan yang menghubungkan Indonesia dengan dunia. Kita bisa belajar dari negara-negara yang telah sukses memanfaatkan keberadaan warganya di luar negeri untuk kepentingan ekonomi, politik, dan budaya.

Dalam politik global, misalnya, diaspora bisa menjadi kekuatan lobi yang luar biasa. Lihat saja India—di Amerika Serikat, komunitas India memiliki pengaruh besar dalam berbagai kebijakan yang menguntungkan negara asal mereka. Mereka bukan hanya bekerja di perusahaan besar, tetapi juga menduduki posisi penting di pemerintahan dan parlemen. Indonesia seharusnya bisa melakukan hal yang sama, membangun jaringan diaspora yang aktif dalam diplomasi internasional dan memperjuangkan kepentingan Indonesia di forum global.

Dari sisi ekonomi, diaspora juga bisa menjadi penghubung investasi dan inovasi. China telah membuktikan hal ini dengan membangun hubungan erat antara warganya di luar negeri dengan ekonomi domestik. Banyak pengusaha China yang sukses di luar negeri kemudian kembali berinvestasi di negara asalnya, membawa serta teknologi dan jaringan bisnis yang luas. Indonesia juga bisa menciptakan ekosistem yang menarik bagi diaspora untuk menanamkan modal atau berbagi ilmu dalam pengembangan teknologi dan industri dalam negeri.

Di bidang budaya, keberadaan diaspora bisa menjadi alat soft power yang luar biasa. Korea Selatan telah sukses dengan strategi ini. K-Pop, drama Korea, dan kuliner mereka menyebar ke seluruh dunia, bukan hanya karena dukungan pemerintah, tetapi juga karena diaspora mereka aktif mempromosikan budaya asalnya. Indonesia memiliki kekayaan budaya yang luar biasa—dari seni, kuliner, hingga tradisi. Jika komunitas diaspora diberdayakan dengan baik, mereka bisa menjadi duta budaya yang memperkenalkan Indonesia ke kancah global.

Kita bisa belajar dari China yang pernah menerapkan kebijakan “Thousand Talents Plan” yang dirancang untuk menarik kembali talenta diaspora seperti mereka agar berkontribusi dalam riset dan inovasi teknologi di China. 

Indonesia juga tengah menikmati pemberdayaan diaspora Indonesia yang di Belanda untuk lompatan prestasi Sepak Bola Indonesia dengan kebijakan naturalisasi. Pemanfaatan diaspora tidak selalu berbentuk naturalisasi tetapi juga bisa dalam bentuk kerjasama ekonomi dan politik global  seperti investasi, teknologi, dan loby politik dan pertahanan global. Ini akan sangat menguntungkan posisi tawar Bangsa dan negara tercinta ini di tingkat internasional.

Jadi, alih-alih melihat fenomena “kabur aja dulu” sebagai sesuatu yang mengkhawatirkan, sudah saatnya kita mengubah perspektif. Jika dikelola dengan strategi yang tepat, diaspora bukanlah kehilangan bagi Indonesia, tetapi justru bisa menjadi kekuatan yang memperluas pengaruh bangsa ini di berbagai bidang.

Referensi

Wikipedia contributors. (2025, March 10). Satya Nadella. Wikipedia. https://en.wikipedia.org/wiki/Satya_Nadella

Wikipedia contributors. (2024, December 7). Rishi sunak. Wikipedia Bahasa Indonesia, Ensiklopedia Bebas. https://id.wikipedia.org/wiki/Rishi_Sunak#:~:text=Raja%20Charles%20III%20kemudian%20mengangkat,yang%20menduduki%20posisi%20Perdana%20Menteri

Wikipedia contributors. (2024b, August 2). Eric Yuan. Wikipedia Bahasa Indonesia, Ensiklopedia Bebas. https://id.wikipedia.org/wiki/Eric_Yuan 

Wikipedia contributors. (2024c, August 3). Jerry Yang. Wikipedia Bahasa Indonesia, Ensiklopedia Bebas. https://id.wikipedia.org/wiki/Jerry_Yang#:~:text=Jerry%20Yang%20Chih%2DYuan%20(lahir,Ketua%20Yahoo!%20dan%20dewan%20direksi